Soal Server PDNS Diretas, Guru Besar IT Sebut Tak Ada Sistem yang Dijamin Aman
Server Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kena serangan siber jenis Ransomware sejak Kamis (20/6/2024). Hal itu membuat server down dan mengganggu layanan publik di berbagai instansi seperti pemeriksaan imigrasi di bandara internasional sampai saat ini. Guru Besar bidang Information Teknologi (IT) Prof Marsudi Wahyudi Kisworo menanggapi kondisi tersebut bahwa di dunia keamanan komputer tidak ada sistem yang dijamin keamanannya.
Dia mengingatkan pentingnya security awareness culture. "Dalam dunia keamanan komputer, di dunia ini tidak ada sistem yang dijamin pasti aman, yang ada adalah sistem yang sudah diretas dan sistem yang belum diretas. Di negara negara maju pun konon setiap 3 5 detik terjadi percobaan peretasan," ujar Prof Marsudi dalam keterangannya, Rabu (26/6/2024). Prof Marsudi mengibaratkan server sebuah rumah, secanggih apapun pengamanan rumah, tidak ada yang mau menjamin bahwa rumah seseorang tidak akan kemalingan, kerampokan, atau kejatuhan meteor.
"Dalam bidang keamanan, yang paling penting adalah security awareness culture alias budaya berhati hati," ungkapnya. Sosok Nenek Euis, Pemandi Jenazah Vina Sebut Polisi Bohong Soal Kondisi Korban: Tak Ada Luka Tusukan Bangkapos.com Cerita Pemandi Jenazah Vina Cirebon, Bantah Keterangan Polisi dan Sebut Tak Ada Luka Bangkapos.com
Guru Besar pertama di bidang IT di Indonesia ini menegaskan bahwa di jagat pengamanan komputer, harus selalu mematuhi tata kelola keamanan (security governance) yang baik. "Misalnya menerapkan berbagai standar keamanan komputer yang ada, dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran keamanan, paling tidak mengurangi dampak jika terjadi pelanggaran keamanan. Sama kan dengan pengamanan fisik seperti mengamankan rumah atau mobil," paparnya. "Security governance meliputi analisa risiko apa saja yang bisa terjadi, meliputi skenario pelanggaran keamanan, aktor, probabilitas, dan dampaknya," sambungnya.
Kemudian ia melanjutkan, dilakukan penanganan risiko mulai dari peralatan misalnya untuk deter, defend, dan detect, sampai ke prosedur yang harus dijalankan ketika terjadi pelanggaran keamanan misalnya peosedur tanggap darurat sampai ke pemulihan. Rektor Universitas Pancasila ini juga memaparkan, lembaga lembaga yang bonafide pasti punya security plan yang komprehensif, bahkan mungkin mengikuti standar standar yang lazim. "Kalau melihat kejadian dengan PDN, dan beberapa kasus sebelumnya yang pernah saya tangani, tidak adanya security plan yang baik itulah penyebab ketika terjadi pelanggaran maka tidak dapat ditangani dengan baik," ungkapnya.
Prof Marsudi yang juga Dewan Pengarah BRIN ini mencontohkan, yang paling sering terjadi adalah tidak adanya skenario ketika terjadi peretasan dan tidak punya disaster recovery plan bahkan tidak punya business continuity plan. "Jangankan itu, banyak lembaga baik pemerintah maupun swasta di Indonesia, cyber risk assessment saja nggak punya, baru kelabakan ketika sudah dijebol," imbuh dia.